Kembali

Insya Allah Bukan untuk Ingkari Janji

Berasal dari rangkaian kata in (jika), sya’a (menghendaki), dan Allah. Ungkapan ini diucapkan seorang Muslim untuk menyatakan kesanggupannya dalam melakukan suatu pekerjaan atau memenuhi janji dengan menyandarkan pada kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Menurut perhitungannya, jika dikehendaki oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ia akan mampu melakukan suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya atau memenuhi janjinya dengan orang lain. Bukan sebaliknya, untuk menyatakan ketidaksanggupannya dalam melakukan suatu pekerjaan dengan menggunakan kalimat insya Allah sebagai tameng. Bukan pula sebagai alasan untuk mengingkari janji.

Perintah atau anjuran mengucapkan insya Allah terdapat dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu:sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi kecuali dengan menyebut insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS Al Kahfi [18]: 23-24).

Ayat ini turun sebagai celaan dan peringatan terhadap Nabi Muhammad ﷺ atas ucapannya terhadap orang-orang Quraisy yang menanyakan kepada beliau tentang roh, kisah Ashabul Kahfi, dan kisah Zulkarnaen. Saat itu Rasulullah mengatakan, “Besok akan aku kabarkan kepada kamu atas pertanyaanmu itu.”

Nabi ﷺ sama sekali tidak memuji atau menyebut nama Allah dan mengucapkan insya Allah. Maka turunlah ayat 23 dan 24 tersebut yang mengingatkan kita untuk tidak boleh mengatakan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain kecuali mengaitkannya dengan kehendak (Masya Allah) atau mengucapkan insya Allah.

Janji termasuk hal gaib karena berdimensi waktu yang akan datang. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hal gaib hanya diketahui oleh Allah saja. Kita tidak tahu rencana Allah terhadap diri kita dan terhadap janji yang kita ucapkan. Jadi, ungkapan insya Allah dimaksudkan agar keinginan kita dengan kehendak Allah menyatu.

Ungkapan insya Allah mengandung azam atau kekuatan niat untuk melakukan suatu pekerjaan. Sebagai contoh, ”Insya Allah nanti malam saya akan datang.” Kalimat di atas adalah janji yang harus ditepati si pengucap. Disertakannya ungkapan insya Allah menunjuk adanya sikap tawakal kepada Allah sebagai bentuk kesadaran bahwa Allah-lah yang berhak menentukan terjadinya sesuatu.

Bila seseorang tidak menyebut insya Allah, kemudian ia tidak menepati janjinya, maka dia digolongkan sebagai pendusta. Namun bila ia menyebut insya Allah, kemudian ternyata dia tidak melakukannya setelah berusaha semaksimal mungkin, ia tidak digolongkan sebagai pendusta karena Allah belum menghendakinya untuk melakukannya.

Sekarang, ungkapan insya Allah tengah mengalami pengkorupsian makna. Ia tidak lagi dijadikan sarana untuk menyempurnakan janji dan penyerahan diri kepada Allah. Ucapan insya Allah kerap dijadikan alasan untuk tidak menepati janji. Semua ini terjadi karena kurang pahamnya sebagian orang terhadap makna dan hakikat kata insya Allah. 

Menurut At Tabari, orang yang mengucapkan insya Allah bila ia hendak melakukan sesuatu menunjukkan bahwa ia mengaitkannya dengan kehendak Allah dan menunjukkan cerminan keyakinan seseorang bahwa tak ada sesuatu pun yang dapat terwujud atau terjadi kecuali atas kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Seseorang yang menyebut insya Allah sebagai ungkapan tekad dalam menyatakan kesanggupan melakukan perbuatan, akan berdisiplin atau berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melakukannya, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Ismail AS kepada ayahnya, Nabi Ibrahim AS dalam Alquran surat As-Shaffat ayat 22 yang artinya, “…Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Ismail benar-benar melaksanakan apa yang dijanjikannya dan taat terhadap apa yang dituntut darinya. Namun setelah nyata kesabaran dan ketaatannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang menyembelih Ismail dan menggantikannya dengan seekor binatang sembelihan.

Karena itu kita harus berusaha mengembalikan makna insya Allah kepada hakikat sebenarnya yaitu penyerahan diri kepada Allah dan menyempurnakan janji agar kita terhindar dari sifat munafik.

Sumber : https://www.republika.co.id

https://www.youtube.com/watch?v=UazkqizIvc0

4.6 5 suara
Article Rating
BAGIKAN POSTINGAN INI
guest
0 Comments
tertua
Terbaru Suara Terbanyak
Tanggapan Sebaris
Lihat semua komentar
Butuh Bantuan?