
Terdapat ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا ١٦
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). [QS. Al-Isra (17): 16]
Mengapa Allah سبحانه و تعالى jadikan orang kaya sebagai sebab kehancuran suatu negeri? pada artikel ini akan dijabarkan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Istilah resesi (kemacetan ekonomi) digunakan untuk menggambarkan kerusakan dan gangguan yang dialami sistem kapitalis selama kurun waktu tertentu. Penyebab terjadinya resesi ekonomi, di antaranya:
- Guncangan ekonomi ➔ hal ini karena lemahnya daya beli akibat kesulitan finansial.
- Inflasi ➔ Inflasi merupakan kondisi naiknya harga barang dan jasa selama periode tertentu. Inflasi yang berlebihan membuat daya beli masyarakat melemah. Di lain sisi, produksi barang dan jasa bakal menurun.
- Tingginya suku bunga dll [dilansir dari CNBC Indonesia]
Resesi mencakup beberapa sektor ekonomi berskala nasional, bahkan dapat terjadi di seluruh sektor ekonomi. Dalam keadaan resesi, dampak negatif yang mungkin terjadi adalah penurunan tingkat laba (keuntungan), pemecatan pekerja (PHK), pengangguran yang meluas, keseimbangan upah yang rendah dalam masyarakat secara keseluruhan, kejahatan meluas, dan masih banyak dampak negatif yang ditimbulkan.
Adanya upaya pendekatan untuk mengurangi kerusakan ekonomi, tidak serta merta dapat menghilangkan krisis yang berhubungan erat dengan sistem kapitalis, di mana krisis dan resesi selalu bersifat “melingkar”. Hal ini terjadi bukan bersifat kebetulan! Bukan juga berasal dari luar sistem kapitalis itu sendiri, tetapi justru terkandung di dalam sistem tersebut. Silakan lihat historis kapitalisme di mana kekuatan pasar tidak mampu untuk mencapai keseimbangan pokok dalam sistem.
The invisible hand (tangan tak terlihat)[1] tidak mampu menyelamatkan krisis pasar yang berulang, begitupun pada tahap pengembangan kapitalis saat ini, di mana dilepaskannya kebebasan penuh dalam berkapitalisasi!
Mari, saatnya kita kembali kepada syari’at Allah سبحانه و تعالى yang tak akan hilang ditelan zaman, syari’at yang sesuai dengan semua adat dan tempat, syari’at yang berasal dari Rabb yang Maha Tahu.
Berikut beberapa pandangan kritis dari sisi syari’at islam terhadap isu resesi ekonomi.
1. Investasi Yang Produktif

Hal ini merupakan seruan Rasulullah ﷺ bahwa dana dapat diinvestasikan secara produktif, sehingga harta tidak habis hanya karena termakan oleh zakat.
روى الدارقطني، مرفوعاً إلى النبي صلى الله عليه وسلم : (مَنْ وَلِيَ مَالَ الْيَتِيْمِ فَلْيَتَّجِرْ بِهِ، وَلَا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ). ولما روى مالك في الموطأ، عن عبد الرحمن بن القاسم عن أبيه أنه قال : (كَانَتْ عَائِشَةُ تَلِيْنِيْ وَأَخًا لِيْ يَتِيْمَيْنِ حَجْرِهَا فَكَانَتْ تُخْرِجُ مِنْ أَمْوَالِنَا الزَّكَاةَ). والقول بوجوب الزكاة في مال كل منهما هو قول علي وابن عمر وجابر وعائشة والحسن بن علي، حكاه عنهم ابن المنذر.
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy secara marfuu’ sampai pada Nabi: ‘Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari Abdullah Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaknya ia memperdagangkan harta itu untuknya, dan tidak membiarkannya sehingga dimakan oleh zakat.“[2]
Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Maalik (bin Anas) dalam Al-Muwaththa’ :
‘Aisyah adalah seorang yang mengurus aku dan saudara kali-lakiku yang yatim. Ia (‘Aisyah) mengeluarkan zakat dari harta-harta kami.”[3]
Jika Rasulullah ﷺ memerintahkan para kafil (pengurus anak yatim) untuk berinvestasi dana yatim, maka bagaimana dengan harta seseorang? Tentu lebih utama untuk diinvestasikan yang akan dapat lebih bermanfaat dan menguntungkan dan pada akhirnya akan ada harta yang dikeluarkan dari keuntungan tersebut yang berupa zakat.
Jika seseorang yang memiliki harta tidak menginvestasikan dan membiarkannya menganggur tertimbun begitu saja, maka terdapat hak masyarakat di dalamnya, yaitu zakat, yang dalam hal ini merupakan bentuk “hukuman atau konsekuensi untuk penimbunan barang“.
2. Haramnya Penimbunan Harta

Islam telah menekankan kampanye tentang menimbun harta, membekukan dan menelantarkannya dalam menjalankan misi kehidupan ekonomi. Islam mendorong umatnya untuk mengelola hartanya dengan menginvestasikan atau mengusahakan harta tersebut untuk kepentingan masyarakat luas.
Terdapat dua ayat Qur’an yang mengancam dengan keras para penimbun harta yang bakhil, Allah berfirman:
۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٣٤ يَّوْمَ يُحْمٰى عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوٰى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْۗ هٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ ٣٥
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahib (Nasrani) mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.
Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” [QS. At-Taubah(9):34-35]
Menimbun harta secara konsep Islam ialah tidak menunaikan zakat dan menahan harta tersebut. Namun, apabila kewajiban dari harta telah ditunaikan, maka harta itu tidak dianggap timbunan lagi. Kewajiban ini juga mencakup zakat infaq. Uang tidak keluar dari lingkaran penimbunan kecuali kewajibannya telah ditunaikan, dalam bentuk zakat, uang berlebih dari keperluan, nafkah, sedekah, dan biaya pemeliharaan investasi.
Islam tidak berhenti memerangi harta timbunan dengan larangan dan penghujatan saja. Bahkan, Islam mengambil langkah praktis yang memiliki pengaruh dalam menggerakkan harta yang terpendam dan berperan dalam memulihkan kembali ekonomi.
Langkah ini tercermin dari kewajiban zakat. Hal tersebut berefek nyata terhadap upaya pengelolaan harta dan investasi modal. Selain itu, syariat pun mewasiatkan untuk menginvestasikan harta seorang muslim dari “laba” nya. Dengan demikian, modal tersebut dapat berkembang dan berkelanjutan.
Pada zaman modern ini, kita telah melihat bahaya penimbunan dan bagaimana hal itu dapat menuntun pada stagnasi ekonomi dan mencegah aktivitas peredaran uang. Padahal, aktivitas peredaran uang itu penting untuk memulihkan kehidupan ekonomi dalam masyarakat. Karena menahan uang sama saja dengan merongrong fungsi uang itu sendiri, yaitu untuk memperluas produksi dan menyediakan lapangan pekerjaan serta sarana pekerjaan.
3. Menyalurkan harta (Zakat) bagi orang-orang yang memiliki hutang

Allah سبحانه و تعالى berfirman:
۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٦٠
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk (yang berjihad) di jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. [QS. At–Taubah(9):60]
Termasuk dari penyaluran zakat adalah untuk mereka yang terjerat hutang, yakni mereka yang memiliki hutang dan tidak mampu untuk membayarnya, bahkan sampai dipenjara karena hal itu misalnya, serta “mereka bukan termasuk ahli maksiat“.
Begitu pula orang yang berhutang untuk melakukan pelayanan publik, seperti orang yang mendamaikan orang lain lalu menyebabkan mereka harus berhutang. Bahkan dianjurkan membayarkan hutang dari orang-orang tersebut meskipun dalam keadaan mereka sanggup, sebagai pendorong untuk melakukan perbuatan baik dan memperbaiki hubungan di antara para manusia.
Penyaluran zakat, infaq, ataupun sedekah juga mencakup orang-orang yang tempat usahanya mengalami musibah (seperti terbakar), atau yang barangnya telah tenggelam di laut lepas, atau yang pabriknya telah rusak, serta mereka yang telah mengalami kemelaratan yang sebelumnya kaya. Dengan demikian, diharapkan mereka dapat mengganti kerugian harta, menutup hutang, dan meringankan beban kesulitan, serta agar mereka dapat membuat usaha untuk keberlangsungan hidup.
Ekonomi nasional telah dan akan mendapat manfaat dengan adanya pemanfaatan dana yang menganggur ini menjadi dana produktif. Selain itu, pendapatan yang dihasilkan oleh individu dalam upaya mengejar profesi dan usaha melalui zakat ghorim (orang yang dililit hutang) menghasilkan permintaan tambahan, artinya kenaikan pengeluaran akan menghasilkan peningkatan produksi dan mengurangi stagnan ekonomi.
4. Waktu Pengeluaran Zakat

Rasulullah ﷺ tidak menentukan waktu atau hari tertentu untuk mengeluarkan zakat, sesungguhnya Beliau (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewajibkan zakat setahun sekali (mencapai haul), karena penggunaan uang berbeda-beda bagi setiap orang. Bisa jadi harta yang mencapai nisab itu masih dimanfaatkan dalam sebulan, atau dua bulan atau di bulan-bulan berikutnya.
Dengan kata lain, efek zakat terhadap pengurangan resesi ekonomi terus berlanjut sepanjang tahun dan akan terus berlanjut sampai resesi tidak lagi menjadi “masalah“.
Dalam praktik penyaluran zakat, dapat diberikan terbatas pada salah satu dari delapan kategori (mustahiq zakat) dan dapat pula diberikan kepada perorangan.
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy berkata: “boleh untuk membatasi satu kelompok dari delapan kelompok yang berhak mendapatkan zakat, boleh juga untuk diberikan pada satu orang.”[4]
Berkata juga Imam Ibnu Rusyd bahwa Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bolehnya ditunaikan zakat untuk satu kelompok (yang berhak dapat zakat) atau lebih, hal itu sesuai dengan kebutuhan.[5]
Pendekatan semacam ini akan memperbaiki hubungan antara kekuatan permintaan pasokan agregat (total) dan tuntutan agregat (total). Mendukung seluruh golongan orang yang terkena dampak resesi akan mengurangi kejahatan disebabkan keadaan resesi dan kekuatan ini akan dapat membalikan keadaan kembali, menciptakan peluang pekerjaan, dan memulihkan pasar dari resesi.
وإذا كانت موارد الزكاة غير قادرة على مجابهة حال الركود الاقتصادي، فإن بعض الفقهاء لا يرى بأساً في أن يخرج المسلم زكاته قبل حلها بثلاث سنوات.
Jika sumber daya zakat tidak mampu mengatasi stagnan ekonomi, jumhur ulama membolehkan membayar zakat sebelum berlalu satu tahun (haul), bahkan dua tahun sebelumnya yang penting telah mencapai nisab.
Hal itu karena zakat adalah kewajiban bagi harta, sehingga boleh disegerakan sebagaimana bolehnya menyegerakan pembayaran utang sebelum jatuh tempo. Dan inilah pendapat yang kuat.
Hal tersebut didasarkan pada hadits bahwa paman Nabi ﷺ, yaitu Abbas bin Abdul Muthallib رضي الله عنه pernah menyegerahkan pembayaran zakatnya sebelum haul.
Ali bin Abi Thalib a bercerita,
أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِى ذَلِكَ
Abbas pernah bertanya kepada Rasulullullah ﷺ tentang hukum menyegerahkan zakat sebelum haul. Lalu beliau memberikan keringanan akan hal itu.[6]
Dalam riwayat lain, juga dari Ali رضي الله عنه, bahwa Nabi ﷺ pernah berpesan kepada Umar رضي الله عنه,
إِنَّا قَدْ أَخَذْنَا زَكَاةَ الْعَبَّاسِ عَامَ الأَوَّلِ لِلْعَامِ
Saya telah menarik zakatnya Abbas, tahun kemarin untuk tahun ini.[7]
Setelah ad-Darimi menyebutkan hadis di atas, beliau mengatakan,
آخُذُ بِهِ وَلاَ أَرَى فِى تَعْجِيلِ الزَّكَاةِ بَأْساً
Saya mengambil pendapat ini, dan saya berpendapat, boleh menyegerakan zakat.[8]
Dapat disimpulkan bahwa pembayaran zakat dapat dipercepat apabila masyarakat sangat membutuhkan uang, terutama yang terkena dampak krisis ekonomi. Tidak diragukan lagi hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dan mengurangi resesi. Zakat merupakan cara yang efektif untuk mendistribusikan kekayaan di antara anggota masyarakat dengan cara yang adil, karena zakat diambil dari orang kaya dan diberikan kepada faqir miskin.
5. Mengajak masyarakat untuk bertaubat, kembali kepada Allah.

Hal terpenting dalam rangka penyelamatan umat secara umum dari musibah apapun itu adalah bertaubat dan kembali kepada Allah سبحانه و تعالى
Allah سبحانه و تعالى berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, “agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. [QS. Ar-Rum (30):41]
Jika kemungkaran telah muncul pada masyarakat serta tersebarnya korupsi, kekejian, amoralitas, riba, dan perzinaan, maka Allah سبحانه و تعالى akan mendatangkan kepada mereka segala macam penderitaan yang dapat berupa kekeringan, melambungnya harga, dan seterusnya, tidak ada musibah apapun kecuali sebabnya adalah maksiat dan dosa-dosa.
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
Dan musibah apa pun yang menimpa kamu maka adalah karena perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah سبحانه و تعالى memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). [QS. Asy-Syura(42):30]
Wahai para hamba Allah, tidaklah bencana dan musibah turun kecuali karena dosa, serta tidaklah ia diangkat kecuali karena taubat. Perbanyaklah beristighfar.
Allah سبحانه و تعالى berfirman:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًاۙ ١٠ يُّرْسِلِ السَّمَاۤءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًاۙ ١١ وَّيُمْدِدْكُمْ بِاَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ جَنّٰتٍ وَّيَجْعَلْ لَّكُمْ اَنْهٰرًاۗ ١٢
Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun.
Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu.
Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” [QS. Nuh(71):10-12]
Referensi
Bulughul Marom, Ibn Hajar, Penerbit: Daar Ibnu Hazm.
CNBC Indonesia “Apa itu Resesi Ekonomi? Pengertian, Penyebab & Dampaknya”, 15-07-2022.
[1] Tangan tak terlihat (invisible hand) adalah istilah dalam ekonomi yang mengacu pada kekuatan yang menggerakkan pasar menuju ke ekuilibrium (posisi seimbang), ketika tidak ada intervensi apapun. Kekuatan tersebut sepenuhnya didasarkan pada interaksi di antara pelaku ekonomi di pasar. Membiarkan kekuatan penawaran dan permintaan bekerja yang pada akhirnya akan menghasilkan alokasi sumber daya yang paling efisien dan memberikan manfaat sosial yang maksimal. [Dilansir dari cerdasco.com]
[2] Riwayat Tirmidzi dan Daruquthni, sanadnya lemah. Hadits ini mempunyai saksi mursal menurut Syafi’i
[3] Pendapat tentang wajibnya zakat pada harta anak yatim dan orang gila merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Jaabir, ‘Aisyah, dan Al-Hasan bin ‘Aliy. Dihikayatkan hal tersebut oleh Ibnul-Mundzir”,Ini adalah pendapat jumhur ulama. [Al-Lajnah Ad-Daaimah, Fataawaa Az-Zakaah; dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnid, hal. 11].
[4] Al-Mughni, Ibnu Qudamah (2/449)
[5] Bidayatul mujtahid, Ibnu rusyd (1/275)
[6] HR. Turmudzi 680, ad-Darimi 1689 dan dihasankan al-Albani
[7] HR. Turmudzi 681 dan dihasankan al-Albani
[8] Sunan ad-Darimi, 5/107
Oleh Ustadz Fakhrur Rodhi Al-hendan, S.H.














Bagaimana caranya agar masyarakat paham solusinya adalah kembali ke syariat Islam di negara yg sekuler ya?
Orang yang hidup di negara bebas agama, atau sekuler:
1. Maka mereka masuk kedalam golongan orang yg dapat udzur atas kejahilan mereka, karena sulitnya akses ilmu islam yang masuk ke sana.
2. Hukum asalnya haram bagi seorang muslim tinggal di negara yang tidak aman bagi agamanya, artinya ia dianjurkan untuk berhijrah ke negara yang aman bagi islam.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلِمَ قَالَ لَا تَرَايَا نَارَاهُمَا.
Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal bersama orang-orang musyrik.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa?” beliau menjawab: “Tidak pantas rumah mereka saling berhadapan.” (Tirmidzi 1530).