
Hukum atau keputusan untuk memboikot produk Israel dan sekutunya atau yang diduga sebagai pendukung perilaku yang bertentangan dengan keyakinan agama bisa menjadi topik sensitif saat ini. Namun tidak diragukan lagi bahwasanya mereka senantiasa melakukan kezaliman terhadap rakyat Palestina dan kaum Muslimin seluruh dunia.
Di sisi lain, muamalah dengan orang kafir dalam jual beli dan kerja sama duniawi adalah hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan kaum Muslimin. Oleh karena itu persoalan boikot produk Israel, Prancis, US, dan sekutunya menjadi polemik di tengah masyarakat kaum Muslimin.
Hukum memanfaatkan produk orang kafir dan ahli maksiat

Dalam Islam, memanfaatkan produk dari orang kafir atau mereka yang melakukan kemaksiatan tidak dianggap sebagai dosa atau tindakan yang dilarang. Islam mengajarkan prinsip keadilan, toleransi, dan sikap adil terhadap semua orang, terlepas dari agama atau latar belakang mereka. Kaidah fiqhiyyah yang ditetapkan para ulama:
الأصل في المعاملات الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمه
“Hukum asal perkara muamalah adalah mubah (boleh), sampai datang dalil yang mengharamkannya”.
Bermuamalah dengan orang kafir juga dibolehkan di dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Mumtahanah: 8).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga memanfaatkan produk orang kafir dan bermuamalah bisnis dengan orang kafir. Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut” (HR. Bukhari no. 2068).
Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata,
واستأجَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلًا مِن بني الدِّيلِ ، هاديًا خِرِّيتًا ، وهو على دينِ كفارِ قريشٍ ، فدفعا إليه راحلتيهما ، وواعداه غارَ ثورٍ بعدَ ثلاثَ ليالٍ ، فأتاهما براحلتَيْهما صبحَ ثلاثٍ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan, padahal ia ketika itu masih kafir Quraisy. Lalu Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari. Lalu orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi” (HR. Bukhari no. 2264).
Dari dalil-dalil di atas, jelas bahwa hukum asal muamalah duniawi dengan orang kafir itu mubah (boleh), dan tidak boleh mengatakan haram tanpa dalil. Dan tidak boleh mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allan dan Rasul-Nya. Ini termasuk berdusta atas nama Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”
(QS. An Nahl: 116).
Tentunya, hukum boleh ini bisa berubah menjadi haram ketika terdapat keharaman, seperti menjual produk yang haram semisal: khamr, daging babi, alat musik, dan lain-lain, atau muamalah dalam maksiat kepada Allah seperti kerjasama transaksi riba, menyewakan rumah untuk pelacuran, Karaoke, bar, dan lain-lain.
Boikot ketika ada maslahat

Boikot, dalam konteks Islam, sebaiknya digunakan sebagai langkah terakhir dan dalam kasus di mana terdapat kebaikan yang jelas yang dapat diperoleh dari boikot tersebut. Boikot bukanlah tindakan yang diambil dengan mudah, karena dalam Islam, penting untuk mempertimbangkan tujuan, dampak, dan manfaat yang akan diperoleh atau hilang dari tindakan tersebut.
Dalam beberapa kasus, boikot bisa dianggap sebagai tindakan yang tepat jika digunakan sebagai bentuk protes yang damai dan sah terhadap tindakan atau kebijakan yang merugikan atau melanggar nilai-nilai penting dalam agama atau masyarakat. Namun, boikot seharusnya tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan setelah pertimbangan yang matang mengenai konsekuensi, dampak, dan tujuan yang ingin dicapai.
Penting untuk dicatat bahwa boikot seharusnya tidak digunakan sebagai alat untuk menyebarkan kebencian atau permusuhan terhadap suatu kelompok atau individu. Lebih baik untuk memilih jalan dialog, pendekatan yang bijaksana, atau langkah-langkah alternatif yang lebih mempromosikan perdamaian dan pemahaman antarindividu.
Adanya sikap boikot terhadap produk tertentu dari orang kafir itu muncul karena dinilai adanya maslahat atau dalam rangka memperkecil mudharat bagi kaum Muslimin.
Seperti produk orang kafir yang produsennya diketahui memiliki peranan dalam menjajah negeri-negeri kaum Muslimin. Sehingga dengan membeli produknya, dikhawatirkan akan memperkokoh aksinya dalam menjajah kaum Muslimin. Atau, produk-produk yang diketahui produsennya pendukung LGBT yang membahayakan masyarakat Islam. Untuk maslahat mempersempit gerakan dukung maksiat tersebut, maka diboikot produknya.
Sebagaimana ini pernah dilakukan oleh Tsumamah bin Utsal radhiallahu’anhu. Disebutkan dalam hadits,
فَبَشَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ، فَلَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ، قَالَ لَهُ قَائِلٌ: صَبَوْتَ، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا وَاللَّهِ لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan kabar gembira kepada Tsumamah dan memerintahkannya untuk melaksanakan umrah. Ketika Tsumamah sampai di Makkah (untuk umrah), ada seseorang yang berkata kepadanya: “Apakah engkau telah murtad (dari agama nenek moyangmu)?”. Tsumamah mengatakan : “Tidak, justru aku telah masuk agama Islam bersama Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, engkau tidak akan mendapatkan gandum dari Yamamah (sampai kepada kaum Quraisy), kecuali diizinkan masuk oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhari no.4372, Muslim no.1764).
Dalam riwayat lain, Tsumamah mengatakan :
لا يصلكم حبة حنطة من اليمامة حتى يأذن فيها رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Gandum dari Yamamah tidak akan sampai kepada kalian, kecuali diizinkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (Fathul Baari, 8/78).
Ini diantara dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang berpendapat bolehnya memboikot produk orang kafir ketika ada maslahah. Asy Syaikh Shalih bin Muhammad Al Luhaidan menjelaskan:
“Tidak ragu lagi bahwa memboikot produk orang kafir (itu disyariatkan). Tsumamah bin Utsal ketika ia masuk Islam bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ia berkata: “Demi Allah biji-bijian dan gandum tidak boleh sampai kepada kaum Quraisy (kecuali diizinkan Rasulullah)”. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyetujui perbuatan beliau.
Maka memboikot produk orang kafir dan ahlul bid’ah yang kebid’ahannya berbahaya, ini adalah perkara yang sesuai dengan landasan syari’at.
Orang yang mengatakan, “tidak perlu lah kita memboikot produk ini dan itu”, ini perkataan yang kurang tepat. Memang betul, kita tidak boleh sembarangan mengharamkan. Namun sebagai sarana untuk memerangi musuh-musuh Islam, dengan mempersempit bisnis mereka, yaitu dengan memboikot produk mereka, ini adalah perkara yang perkara yang hendaknya dilakukan. Sesuai dengan kemampuan dan selama tidak membahayakan kaum Muslimin”
Mereka juga berdalil dengan ayat:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).
Karena memboikot produk orang kafir ketika ada maslahat, ini upaya untuk menolong kaum Muslimin dan menghindarkan diri dari menolong orang kafir dan pelaku maksiat yang ingin berbuat makar kepada kaum Muslimin.
Fatwa Para Ulama
Pendapat para ulama mengenai boikot dapat bervariasi tergantung pada konteks, tujuan, dan dampaknya. Umumnya, fatwa atau pendapat ulama berkaitan dengan konsep boikot dalam Islam akan menekankan beberapa poin penting:
- Tujuan yang Jelas: Boikot seharusnya memiliki tujuan yang jelas dan terdefinisi dengan baik. Tujuannya mungkin termasuk menentang ketidakadilan, merespons tindakan melawan nilai-nilai Islam, atau untuk kebaikan umum.
- Hukum yang Jelas: Dalam Islam, boikot harus didasarkan pada landasan hukum yang jelas. Artinya, tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, seperti toleransi, keadilan, atau perdamaian.
- Dampak dan Kemanfaatan: Ulama juga memperhatikan dampak dan kemanfaatan dari tindakan boikot. Jika dampaknya lebih merugikan dan tidak menghasilkan perubahan yang positif, boikot mungkin tidak disarankan.
- Konteks dan Kondisi: Fatwa atau pandangan ulama juga akan mempertimbangkan konteks spesifik di mana boikot direncanakan, seperti kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang mungkin memengaruhi hasil dari tindakan tersebut.
- Keselarasan dengan Ajaran Islam: Boikot seharusnya konsisten dengan ajaran Islam dalam hal etika, moralitas, dan prinsip-prinsip perdamaian.
Biasanya, fatwa dari ulama tidak bersifat mutlak dan bisa bervariasi berdasarkan interpretasi dan pemahaman masing-masing. Penting untuk berkonsultasi dengan ulama atau otoritas keagamaan yang dihormati untuk mendapatkan pandangan yang lebih khusus dan tepat sesuai dengan situasi atau permasalahan yang dihadapi.
Berikut fatwa para ulama mengenai boikot produk Israel dan sekutunya:
Fatwa Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
Beliau mengatakan:
“Diantara jihad yang paling agung di zaman sekarang adalah mengusahakan kelancaran perekonomian kaum Muslimin dan memberikan kelonggaran-kelonggaran untuk kebutuhan pokok mereka yang sifatnya darurat maupun kebutuhan tambahan. Melonggarkan pekerjaan-pekerjaan mereka, baik usahanya maupun pekerjanya.
Demikian juga, diantara jihad yang paling agung adalah memboikot usaha-usaha musuh Islam di sisi hulu (produsen) dan hilir (pasaran). Jangan berikan kelonggaran bagi usaha dagang mereka di pasaran, jangan membuka peluang bagi mereka di pasar kaum Muslimin. Dan hendaknya tidak memberikan peluang bagi mereka untuk menggapai negeri-negeri kaum Muslimin … Bahkan kaum Muslimin tidak butuh kepada hasil-hasil produksi negeri-negeri mereka. Dan kaum Muslimin menginginkan hasil-hasil produksi dari negeri-negeri Muslim”
(Dinukil dari kitab Sabilur Rasyad fi Khairil ‘Ibad, karya Syaikh Muhammad Taqiyuddin Al Hilali, halaman 504).
Fatwa Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Ketika ditanya tentang hukum membeli barang dari orang Syi’ah Rafidhah. Beliau menjawab:
هذا محل نظر، الشراء من الكفرة جائز والنبي صلى الله عليه وسلم اشترى من اليهود، اشترى منهم ومات ودرعه مرهونة عند يهودي في طعام صلى الله عليه وسلم. لكن يبين لهم عقيدتهم حتى لا يتخذهم اصحاب ولا رفقاء، اما كونه يشتري منهم شيئا اذا دعت الحاجة لشرائه الامر سهل، المقصود الحذر من الموالاة والمحبة أو التساهل معهم أو تمرير اعمالهم والتساهل فيها يبين للناس كفرهم وضلالهم
“Masalah ini perlu ditinjau. Membeli barang dari orang kafir hukumnya boleh. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membeli barang dari orang Yahudi. Beliau pernah membeli makanan dari orang Yahudi, dan beliau wafat dalam keadaan besinya tergadaikan kepada orang Yahudi.
Namun hendaknya kita menjelaskan akidah mereka (kepada masyarakat) dan mewanti-wanti masyarakat agar tidak menjadikan mereka sebagai teman dekat.
Adapun masalah membeli sesuatu dari mereka, jika memang ada kebutuhan, maka ini perkara yang longgar.
Yang diutamakan adalah mentahdzir mereka agar umat tidak loyal dan cinta kepada mereka, agar tidak berjalan bersama mereka dan bermudah-mudah berinteraksi dengan mereka. Jelaskan kepada masyarakat tentang kekufuran mereka dan kesesatan mereka” (Sumber: http://www.saltaweel.com/articles/118).
Fatwa Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Beliau mengatakan:
فلو كان البلغاريون يذبحون هذه الذبائح التي نستوردها منهم ذبحا شرعيا حقيقة ، أنا أقول لا يجوز لنا أن نستوردها منهم بل يجب علينا أن نقاطعهم حتى يتراجعوا عن سفك دماء إخواننا المسلمين هناك ، فسبحان الله مات شعور الأخوة التي وصفها الرسول عليه السلام بأنها كالجسد الواحد : ( مثل المؤمنين في تواددهم وتراحمهم كمثل الجسد الواحد ، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسحر )
“Andaikan orang-orang Bulgaria menyembelih daging-daging yang kita impor tersebut dengan penyembelihan yang benar-benar syar’i, maka saya katakan, hendaknya kita tidak mengimpornya dari mereka. Bahkan wajib bagi kita untuk memboikot mereka sampai mereka berhenti menumpahkan darah saudara kita kaum Muslimin.
Subhanallah! Telah mati rasa persaudaraan yang digambarkan oleh Rasul ‘alaihissalam bahwa kaum Muslimin itu bagai sebuah jasa, (beliau bersabda): “Permisalan orang-orang Mukmin, mereka seperti sebuah jasad, dalam hal kasih sayang dan kecintaan sesama mereka. Jika satu bagian tubuh mengeluhkan sakit, maka bagian tubuh lain ikut merasakan demam dan nyeri”” (Silsilah al Huda wan Nur, no. 190).
Fatwa Syaikh Shalih Al Luhaidan
Telah kami sebutkan di atas, setelah hadits Tsumamah bin Utsal.
Fatwa Asy Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini
Beliau mengatakan:
“Saya sering katakan bahwa memboikot produk orang kafir itu disyariatkan. Disyariatkan di sini maksudnya sesuai dengan dalil-dalil syar’i. Namun saya tidak mewajibkan boikot, atau dengan kata lain mengatakan bahwa orang tidak melakukannya itu berdosa.
Saya hanya katakan, saya mendukung boikot. Adapun orang yang tidak ikut memboikot produk ini dan itu, saya tidak bisa katakan ia berdosa atau orang fajir. Kecuali ketika pemerintah menetapkan dilarangnya membeli produk ini dan itu, maka ketika itu saya baru memfatwakan bahwa haram membeli produk ini dan itu.
Namun ketika perkaranya longgar dan terbuka, dan kita ada kemungkinan kita memberikan bahaya pada musuh-musuh kita dengan boikot, maka saya katakan, boikotlah mereka! Namun saya tidak bisa memvonis berdosa dan fajir bagi orang yang tidak melakukannya.
Lebih lagi, yang mewajibkan untuk memboikot (produk orang kafir) ternyata hanya sebagian produk saja yang bisa diboikot. Sebagian produk mereka ada yang tidak terlalu kita butuhkan maka hendaknya diboikot produk tersebut. Demikian juga sebagian makanan dan minuman. Namun ulama yang mengajak untuk memboikot (produk orang kafir), tentu saja saya yakin bahwa mereka tidak mengatakan wajib untuk memboikot semua (produk orang kafir)”.
Fatwa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan
Ketika ditanya mengenai perkataan sebagian orang melalui media koran mereka mengajak memboikot produk Amerika, dan mengatakan bahwa hukumnya fardhu ‘ain, ulama Islam semuanya mengajak untuk memboikotnya dan yang tetap membelinya maka ia berbuat dosa besar. Beliau menjawab:
“Pertama, saya ingin meminta edisi koran yang disebutkan oleh penanya tersebut.
Kedua, perkataan ini tidak benar. Ulama tidak ada yang memfatwakan haramnya membeli produk Amerika. Dan produk Amerika banyak yang beredar di pasar kaum Muslimin. Dan mereka (Amerika) tidak terkena bahaya jika kita tidak membeli produk-produk mereka. Itu tidak membahayakan mereka.
Maka tidaklah dilakukan pemboikotan kecuali yang ditetapkan oleh waliyul amri. Jika waliyul amri melarang membeli produk dari suatu negara, maka wajib kita melakukan boikot.
Adapun sekedar ajakan dan fatwa dari sebagian orang yang mengharamkan suatu produk, maka ini termasuk mengharamkan apa yang Allah halalkan. Tidak diperbolehkan”.
Mengkompromikan fatwa para ulama
Mungkin sebagian orang mengira bahwa telah terjadi perselisihan pendapat di antara ulama tentang hukum memboikot produk orang kafir.
Namun, andai kita cermat memahami fatwa para ulama di atas, sebenarnya bisa kita kompromikan penjelasan mereka dalam beberapa poin:
- Menjual dan membeli produk orang kafir atau pelaku maksiat, hukum asalnya halal selama produknya halal.
- Ulama sepakat, tidak diperbolehkan menganggap haram sesuatu yang halal dan tidak diharamkan oleh syari’at.
- Memboikot produk orang kafir dan pendukung kemaksiatan dengan niat untuk mempersempit gerak musuh-musuh Islam, ini boleh saja. Bahkan termasuk jihad yang utama. Selama niatnya bukan mengharamkan yang halal.
- Jika ada ketetapan boikot dari pemerintah, maka wajib melakukan boikot.
- Selama tidak ada ketetapan boikot dari pemerintah, tidak boleh memaksa orang lain untuk memboikot dan tidak boleh mencela serta menganggap dosa orang yang tidak ikut memboikot.
- Yang berhak memboikot dengan sifat memaksa hanyalah pemerintah.
- Memboikot produk orang kafir jangan sampai membuat kaum Muslimin kehilangan banyak manfaat dari produk-produk yang hanya diproduksi oleh orang kafir atau pelaku maksiat.
- Memboikot produk orang kafir atau pelaku maksiat, memang tidak bisa menyeluruh, namun dilakukan sesuai kemampuan.
- Tidak benar pernyataan orang yang mengatakan bahwa yang tidak ikut memboikot dan tetap membeli produk orang kafir adalah orang fajir atau pelaku dosa besar. Selama ulil amri tidak mewajibkan boikot.
- Andaikan seseorang membeli produk orang kafir atau ahli maksiat, dan tidak memboikot, maka tetap wajib menjelaskan kekeliruan dan kesesatan mereka.
Wallahu a’lam. Wabillahi at taufiq was sadaad.
Sumber dasar: muslim.or.id
Penulis: Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Editor: Imam Mulia B












